ALERGI OBAT: BISAKAH DIPREDIKSI?
dr. Wistiani, SpA(K), MSi Med
Kepala Divisi Alergi-Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/FK UNDIP
Reaksi simpang karena obat merupakan masalah penting dalam dunia kesehatan; hal ini banyak dihadapi oleh para dokter dalam praktek sehari-hari. Alergi obat merupakan salah satu reaksi simpang obat yang sering dibicarakan; merupakan fenomena klinis kompleks karena sulit diprediksi, manifestasi klinis yang beragam yang dapat melibatkan beberapa organ dengan tampilan dari yang sederhana hingga fatal, atau tatalaksananya yang memerlukan tahapan evaluasi.
Dilaporkan angka kejadiannya meliputi 10-20% pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan mencapai hingga 25% pada pasien rawat jalan. Angka tersebut masih dianggap “belum akurat” mengingat beberapa kejadiannya tidak teridentifikasi dengan baik atau bahkan adanya kecurigaan “overdiagnosis”. Disamping itu pemberian label alergi obat yang tidak berdasarkan pada tatalaksana diagnosis yang baik sering menyebabkan penghindaran obat tertentu sepanjang hidup.
Reaksi simpang obat didefinisikan sebagai setiap respon yang muncul terhadap paparan obat yang bersifat membahayakan yang seharusnya tidak terjadi pada pemberian dengan dosis sesuai yang direkomendasikan, yang digunakan untuk kepentingan profilaksis, diagnosis, atau terapi dari suatu penyakit atau modifikasinya sesuai fungsi fisiologis (kriteria World Health Organization/WHO).
Berdasarkan kemungkinan terjadinya, reaksi simpang obat diklasifikan menjadi: (a) reaksi tipe A yaitu reaksi yang muncul sebagai akibat dari efek farmakologis obat, dapat diprediksi, dan tergantung pada dosis. Misalnya terjadi akibat dosis yang tidak akurat (terlalu kecil atau terlalu besar atau lama), interaksi antar obat (gangguan farmakokinetik), efek samping (aminoglikosida yang bersifat toksik bagi ginjal), atau efek sekunder misalnya perubahan flora normal usus akibat penggunaan antibiotika. Tipe ini meliputi 80% reaksi simpang obat; (b) dan reaksi tipe B yaitu reaksi akibat penggunaan obat yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya, tidak tergantung pada dosis, lebih jarang terjadi namun dampaknya cukup berat dengan kemungkinan kematian.
Dalam kriteria ini termasuk didalamnya reaksi alergi atau hipersensitifitas (dengan mediator sistem imun) pada individu yang tersensitisasi, dan non-alergi seperti reaksi psikogenik, dan intoleransi. Tipe ini meliputi 15-20% kasus reaksi simpang obat. Reaksi alergi obat atau hipersensitifitas obat adalah reaksi imunologis tubuh terhadap obat yang didahului dengan paparan obat, yang terjadi pada orang yang sensitif. Jenis obat yang paling sering menimbulkan alergi diantaranya antibiotika golongan β-laktam, obat anti-inflamasi non-steroid, anti-epilepsi, dan zat radio-kontras.
Apa saja faktor risiko alergi obat?
(1) Faktor obat: karakteristik alamiah obat meliputi berat molekul dan rumus kimiawinya; derajat paparan meliputi dosis, durasi dan frekuensi pemberian; reaksi silang; dan jenis atau cara masuknya obat. Obat bersifat alergenik (memicu respon alergi atau hipersensitivitas) bila berat molekulnya besar (>1000 D). Pemberian secara berulang atau terputus-putus lebih berisiko menimbulkan sensitisasi daripada pemberian yang berlangsung tanpa jeda. Aplikasi topikal berisiko sensitisasi, dan pemberian secara parenteral berisiko imunogenik.
(2) Faktor pejamu: wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki (65-70% dibanding 30-35%), namun tergantung pula pada umur, jenis reaksi yang ditemui (jenis yang melibatkan reaksi kulit 35% lebih banyak ditemui pada wanita). Polimorfisme genetik yang merubah metabolisme obat atau respon imun dengan dampak reaksi simpang obat; sebuah studi epidemiologi menunjukkan faktor risiko terhadap hipersensitivitas obat abacavir didapatkan pada ras Kaukasia. Penyakit penyerta seperti AIDS memiliki risiko 10-100 kali lebih tinggi untuk menunjukkan reaksi kulit terhadap paparan obat misalnya kotrimoksasol.
Bagaimana obat dapat memicu munculnya reaksi alergi?
ALERGI OBAT |
Obat akan memicu suatu reaksi imunologis dalam bentuk multivalent; diawali dengan respon imun spesifik (sensitisasi) dan diikuti dengan aktivasi (fungsi efektor); biasanya terjadi pada zat dengan berat molekul yang besar dengan epitop (tempat ikatan molekul dengan sel imun) yang banyak. Untuk obat dengan berat molekul rendah (<1kDa) seperti golongan penisilin akan berikatan dengan molekul pada permukaan sel membentuk ikatan kompleks hapten-pembawa yang memicu respon imun spesifik terhadap obat. Jenis obat yang lain harus dimetabolisir melalui proses enzimatik di hati atau sel keratinosit kulit untuk diaktivasi menjadi bentuk yang reaktif sebelum terjadi respon imun.
Disamping itu terjadi reaksi bioinaktivasi, oleh karena faktor genetik atau lingkungan; proses keseimbangan bioaktivasi dan inaktivasinya terganggu sehingga terjadi peningkatan produk metabolit obat yang bersifat reaktif atau penurunan eliminasi produk tersebut; dengan dampak meliputi ikatan produk metabolit obat yang reaktif dengan makromolekul sehingga terjadi kerusakan sel tubuh, atau berikatan dengan asam nukleat sehingga menghasilkan produk gen yang berubah, atau kemungkinan berikatan dengan molekul yang lebih besar membentuk kompleks imunogenik dan memicu munculnya respon imun tubuh.
Reaksi alergi diklasifikasikan berdasarkan reaksi respon imun yang terjadi menjadi: (a) reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh antibody spesifik IgE terhadap obat tertentu, (b) jenis sitotoksik, (c) reaksi kompleks imun dengan mediator antibody spesifik IgG atau IgM, dan (d) reaksi hipersensitivitas tipe lambat dengan mediator sel limfosit T spesifik. Gejala alergi obat yang muncul bervariasi tergantung pada mekanisme yang melatarbelakanginya, dan gejala tersebut bisa melibatkan banyak sistem organ. Untuk tipe alergi dengan mediator IgE ditandai dengan munculnya reaksi yang cepat setelah paparan, gejala antara lain pada kulit berupa urticaria (“biduran”), bengkak, pada saluran pernapasan ditandai dengan sesak napas kadang disertai napas berbunyi (“mengi”), atau fatal berupa syok anafilaksis. Tipe yang tidak diperantarai IgE menunjukkan gejala yang bersifat lebih lambat, gejala di kulit berupa bercak kemerahan menyerupai bercak pada campak (“morbiliform”), atau bentuk yang berat berupa Syndroma Steven Johnson (SSJ),
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). Organ lain yang terkena meliputi hati dengan memberikan gambaran menyerupai penyakit hepatitis (kuning, gangguan fungsi hati); pada ginjal menunjukkan gejala nefritis; dapat pula memberikan gambaran anemi, atau jumlah trombosit yang menurun. Pemberian obat diindikasikan sesuai penyakit yang melatarbelakangi; ketika muncul tampilan di kulit setelah paparan obat harus dicermati bahwa tidak selalu tampilan tersebut karena alergi obat, tapi ada kemungkinan memang karena penyakitnya yang baru menampakkan gejala beberapa hari kemudian. Sehingga untuk setiap kecurigaan terhadap alergi obat seharusnya dikonsultasikan kepada dokter.
Apakah ada test yang bisa dilakukan untuk memprediksi alergi obat?
Uji kulit merupakan uji tapis yang banyak dilakukan untuk mengenali alergen (zat yang menyebabkan alergi) antara lain untuk makanan, tungau (pada debu rumah), serpihan binatang, serbuk bunga, atau obat. Setelah alergen dapat diidentifikasi atau dikonfirmasi maka ditindaklanjuti dengan penghindaran agar gejala serupa tidak muncul lagi ketika terpapar oleh zat yang sama. Penghindaran tersebut bisa bersifat sementara atau menetap tergantung pada berat ringannya gejala yang muncul; oleh sebab itu evaluasi sangat penting. Ada beberapa jenis uji kulit, yang paling banyak dilakukan adalah uji cukit kulit (skin prick test), uji tempel (patch test), dan uji intradermal; masing-masing uji kulit tersebut dilakukan untuk jenis alergi yang berbeda-beda karena tiap uji tersebut memiliki mekanisme kerja yang berbeda, misalnya uji cukit kulit dilakukan pada jenis alergi yang tampilannya dimediasi oleh IgE. Untuk deteksi alergi obat tidak semua jenis obat bisa dilakukan uji kulit karena alergennya belum diketahui zat aktifnya.
Satu-satunya yang sudah dikenal adalah golongan penisilin (determinan mayor dan minor) itupun sulit didapatkan dalam klinik sehari-hari. Disamping itu untuk interpretasi hasil uji kulit harus dilakukan dengan cermat misalnya pada uji intradermal; reaksi berupa kulit yang kemerahan pada daerah uji tersebut harus bisa dibedakan apakah benar mekanisme alergi ataukah karena iritasi lokal. Selain itu uji kulit yang hasilnya negatif tidak selalu berarti bahwa penderita tidak mengalami alergi obat; kalau yang dilakukan adalah uji kulit untuk alergi yang dimediasi oleh IgE sementara penderita rentan alergi namun jenis yang tidak diperantarai IgE (misalnya Sindroma Steven Johnson), maka hasil ujinya negatif (negatif palsu, false negative).
Faktor penyulit lain dalam menegakkan alergi obat adalah seringkali obat yang dikonsumsi lebih dari 1 jenis.
Melihat mekanisme alergi obat yang kompleks, penyulit yang muncul, serta kemungkinan “misinterpretasi”, uji tapis terhadap obat tidak direkomendasikan dilakukan secara rutin melainkan atas indikasi yang berdasarkan riwayat atau manifestasi sebelumnya yang jelas. Apabila terbukti alergi obat (setelah melalui mekanisme identifikasi yang sahih dan ilmiah) maka informasi lengkap harus diberikan pada penderita dan dicatat pada catatan medik rumah sakit atau menggunakan tanda pengenal khusus. Apabila tidak ada alternatif lain untuk obat tertentu sementara obat itu adalah satu-satunya pilihan sesuai dengan jenis penyakit yang diderita maka bisa dilakukan desensitisasi obat; untuk hal ini harus dilakukan atas pengawasan dokter khusus yang menangani hal seperti ini.
Semua konsumsi obat harus dibawah pengawasan dokter, dan dikonsumsi sesuai dengan anjuran dan peraturan khusus yang menyertai seperti dosis, dan lamanya penggunaan. Penggunaan obat yang rasional dan informasi obat yang akurat merupakan salah satu cara pencegahan alergi obat, disamping kepatuhan penderita mengenai hal tersebut.
1 comments:
nah... artikel ini bener" ngebantu banget untuk kita" para ibu khususnya dalam memberikan obat untuk si anak .. thank's banget yah ;)
Post a Comment